Sabtu, 27 April 2019

KONSEP DASAR PENGADAAN


Nama  :  Jasman
Npm    :  17 630 002



KONSEP DASAR PENGADAAN


Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/ Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.

 Tujuan:

Memperoleh barang atau jasa dengan harga yang dapat di dipertanggungjawabkan,  jumlah dan mutu yang sesuai serta pengadaannya tepat waktu
bahwa Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015
tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah masih terdapat kekurangan dan belum menampung perkembangan kebutuhan Pemerintah mengenai pengaturan atas Pengadaan Barang/Jasa yang baik.
Dasar Hukum :
Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun 1945;
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
PP ini mengatur tentang :
–  Pelaku Pengadaan Barang/Jasa;
–  Perencanaan Pengadaan;
–  Persiapan Pengadaan Barang/Jasa;
–  Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Swakelola;
–  Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia;
–  Pengadaan Khusus;
–  Usaha Kecil, Produk Dalam Negeri, dan Pengadaan Berkelanjutan;
–  Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik;
–  Mencabut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
–  Mulai berlaku pada tanggal diundangkan;
–  Ditetapkan pada tanggal 16 Maret 2018;
–  Diundangkan pada tanggal 22 Maret 2018.


DASAR HUKUM UNDANG UNDANG


Adalah merupakan hal yang sangat penting diketahui, khusunya Pengguna danPenyedia barang/Jasa Pemerintah terhadap aspek-aspek hukum yang terkait denganPengadaan Barang/Jasa, sehingga dengan mengetahui peraturan-peraturan yang terkaitakan meminimalkan terjadinya kerugian bagi negara.Dalam Pengadaan barang/Jasa ada dua subjek hukum yang mempunyaikesetaraan/kedudukan yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pertama dari sisiPengguna barang/Jasa yaitu pemerintah/instansi yang membutuhkan barang/jasa. Keduadari sisi Penyedia Barang/Jasa yaitu badan usaha atau orang perorangan yangmenyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/ atau Jasa Lainnya. atauPenyedianya melalui swakelola. Swakelola adalah Pengadaan Barang/Jasa dimanapekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri olehKementerian/Lembaga/Daerah/Institusi sebagai penanggung jawab anggaran, instansipemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat. Ditinjau dari sisi Pengguna Pengadaanbarang/Jasa pada hakikatnya adalah upaya pengguna barang/jasa untuk mendapatkanbarang/jasa yang dibutuhkan dengan menggunakan metode dan proses tertentu agardicapai kesepakatan tepat harga, kualitas (spesifikasi), kuantitas (volume), waktu, tempat,dan kesepakatan lainnya. Sedangkan Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atauorang perorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Kontruksi, Jasa Konsultansi danJasa Lainnya
Hakikat pengadaan tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya apabilapihak pengguna maupun penyedia harus berpedoman pada etika dan norma pengadaanyang berlaku, mengikuti prinsip-prinsip, metode, dan prosedur pengadaan yang baik (sound practices).

Dalam pengadaan barang/jasa fakta menunjukan telah banyak terjadi baik dari sisipengguna maupun sisi penyedia tersangkut kasus korupsi, mulai dari tersangka, terdakwamaupun terpidana. Para pejabat tersebut ada dari pelaksana/staf, pejabat struktural, bahkanpejabat negara
Peraturan hukum terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
2) Undang Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
3) UndangUndang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksanaan, Pengelolaan danPertanggungjawaban Keuangan Negara;.
4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi;
5) Undang Undang: Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil danMenengah; 6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yangBersih dan Bebas KKN; .
7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli danPersaingan Usaha Tidak Sehat;
8) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
9) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
10) Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

 Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 54 Tahun2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.Peraturan tersebuat di atas mengikat setiap subjek hukum baik orang peroranganmaupun badan hukum. Peraturan tersebut dapat dipaksakan dan dipertahankan. Dengandemikian dikenakannya sanksi bagi mereka yang melanggar peraturan (undang-undang)merupakan konsekuensi tujuan hokum

Bidang hukum yang terkait dengan Pengadaan barang/Jasaa. Bidang Hukum Administrasi Negara. Bidang Hukum Perdata
b. Bidang Hukum Pidana


DASAR HUKUM PERATURAN PRESIDEN


Dengan pertimbangan bahwa  Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah  beberapa kali diubah, terakhir dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2015 masih terdapat kekurangan dan belum menampung perkembangan kebutuhan Pemerintah mengenai pengaturan atas Pengadaan Barang/Jasa yang baik, pemerintah memandang perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Atas dasar pertimbangan tersebut, pada 16 Maret 2018, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (tautan: Perpres Nomor 16 Tahun 2018).
Dalam Perpres ini disebutkan, bahwa metode pemilihan Penyedia Barang/ Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya terdiri atas:
a. E-purchasing;
b. Pengadaan Langsung;
c. Penunjukan Langsung;
d. Tender Cepat; dan e. Tender.
E-purchasing sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, dilaksanakan untuk Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang sudah tercantum dalam katalog elektronik.
Sedangkan  Pengadaan Langsung sebagaimana dimaksud dilaksanakan untuk Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), Penunjukan Langsung sebagaimana dimaksud dilaksanakan untuk Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dalam keadaan tertentu.
Adapun Tender Cepat sebagaimana dimaksud dilaksanakan dalam hal: a. spesifikasi dan volume pekerjaannya sudah dapat ditentukan secara rinci; dan b. Pelaku Usaha telah terkualifikasi dalam Sistem Informasi Kinerja Penyedia, dan Tender sebagaimana dimaksud dilaksanakan dalam hal tidak dapat menggunakan metode pemilihan Penyedia sebagaimana dimaksud dalam keadaan tertentu.
“Metode evaluasi penawaran Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dilakukan dengan:
a. Sistem Nilai;
b. Penilaian Biaya Selama Umur Ekonomis; atau
c. Harga Terendah,” bunyi Pasal 39 Perpres ini.
Adapun Metode pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi, menurut Perpres ini, terdiri atas:
a. Seleksi;
b. Pengadaan Langsung; dan c. Penunjukan Langsung.
Seleksi sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, dilaksanakan untuk Jasa Konsultansi bernilai paling sedikit di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sedangkan Pengadaan Langsung sebagaimana dimaksud dilaksanakan untuk Jasa Konsultansi yang bernilai sampai dengan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), dan Penunjukan Langsung sebagaimana dimaksud dilaksanakan untuk Jasa Konsultansi dalam keadaan tertentu.
“Dalam hal dilakukan Penunjukan Langsung untuk Penyedia Jasa Konsultansi sebagaimana dimaksud , diberikan batasan paling banyak 2 (dua)  kali,” bunyi Pasal 41 ayat (6) Perpres ini.
Metode evaluasi penawaran Penyedia Jasa Konsultansi, menurut Perpres ini, dilakukan dengan:
a.Kualitas dan Biaya;
b. Kualitas;
c. Pagu Anggaran; atau
d. Biaya Terendah.



Jumat, 26 April 2019

HARGA PERKIRAAN SENDIRI


Nama  :  Jasman
Npm    :  17 630 002


HARGA PERKIRAAN SENDIRI

Harga Perkiraan Sendiri merupakan harga barang/jasa yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Nilai HPS didasarkan pada riwayat HPS yang diperoleh dari riset harga pasar, baik lewat media online berupa toko online maupun harga toko supplier. Nilai total HPS terbuka dan tidak rahasia. Namun, untuk Rincian Harga Satuan dalam perhitungan HPS bersifat rahasia.  
Yang dimaksud dengan nilai total HPS adalah hasil perhitungan seluruh volume pekerjaan dikalikan dengan Harga Satuan ditambah dengan seluruh beban pajak, pajak PPn.
Untuk saat ini, harga HPS sudah bisa ditentukan untuk tiap itemnya menggunakan e-budgeting. E-budgeting adalah sistem penyusunan anggaran yang didalamnya termasuk aplikasi program komputer berbasis web untuk memfasilitasi proses penyusunan anggaran belanja daerah. Pelaksanaan e-budgeting dalam APBD tidak rawan kebocoran. Karena pelaksanaannya akan diawasi secara ketat oleh masing-masing Gubernur dan Wakil Gubernur di setiap daerah. Seperti diketahui bersama penyusunan HPS ini dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan meliputi:
Harga Pasar Setempat yaitu harga barang/jasa di lokasi barang/jasa diproduksi/diserahkan/dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya Pengadaan Barang/Jasa;
-          Informasi Biaya Satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS);
-          Informasi Biaya Satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
-          Daftar Biaya/Tarif Barang/Jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal;
-          Biaya Kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya;
-          Inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia;
Hasil perbandingan dengan Kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain;
-          Perkiraan Perhitungan Biaya yang dilakukan oleh Konsultan Perencana (Engineer’s Estimate);
-          Norma Indeks; dan/atau
-          Informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
-          Kegunaan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

HPS sendiri memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah:
-          Alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya
-          Dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah
-          Dasar untuk menetapkan besaran nilai Jaminan Pelaksanaan bagi penawaran yang nilainya lebih rendah dari 80% (delapan puluh prosen) nilai total HPS.


PROSES HARGA PERKIRAAN SENDIRI

Sebelum menyusun harga perkiraan sendiri, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyusun spesifikasi barang (spek) Setelah spesifikasi ditetapkan selanjutnya pejabat yang berwenang dalam hal ini Pejabat Pembuat Komitmen, baru menyusun harga Perkiraan Sendiri (HPS) sesuai dengan Pasal 66 Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan barang dan Jasa Pemerintah secara rinci dan detail menegaskan fungsi HPS dalam proses pengadaan serta persyaratannya.
      Menurut hukum permintaan dan penawaran menyebutkan bahwa semakin tinggi permintaan maka akan semakin tinggi pula harga barang/jasa, semakin tinggi atau banyak penawaran maka harga akan semakin turun. Disisi lain ada faktor produksi, jumlah penyedia dan jumlah pembeli yang juga turut mempengaruhi. Hal ini menunjukkan bahwa harga didalam pasar sebagai indikator kompetisi.
      Kompetisi antar penyedia diyakini akan menjadi sarana efektif bagi user untuk mendapatkan barang/jasa yang dibutuhkan dengan kualitas optimal sesuai kemampuan dana yang tersedia. Maka dalam Perpres No 54 Tahun 2010 dalam pasal 5 menyebutkan tentang prinsip-prinsip pengadaan yaitu terbuka, transparan, bersaing, adil/tidak diskriminatif kemudian dibungkus akuntabilitas untuk menjaga trustatau kepercayaan semua pihak terhadap proses. Tujuan utamanya tentu mendukung tercapainya prinsip efektif dan efisien.
      Dalam kerangka kompetisi inilah kemudian HPS disusun. Pasal 66 ayat 5 huruf a menegaskan bahwa HPS digunakan sebagai alat menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya. Kemudian ayat 7 menambahkan bahwa HPS didasarkan pada harga pasar setempat terkini, dikaitkan dengan ayat 2 yaitu 28 hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran. Jadi dapat disimpulkan HPS adalah harga pasar setempat menjelang pelaksanaan pengadaan.
           Fenomena yang terjadi bahwa dalam pelaksanakan pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah banyak pejabat pengadaan yang kesulitan dalam dalam membuat HPS. Untuk membuat HPS minimal membandingkan dua harga yang berlaku di pasar, pada hal untuk menemukan harga yang wajar di pasaran tidak mudah. Satu-satu jalan adalah menentukan hps dengan cara membandingkan dua harga penawaran di perusahaan atau calon penyedia barang dan jasa.
      Kasus yang paling banyak menimpa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa adalah kasus mark-up dan salah satu penyebabnya terletak pada penyusunan HPS. Menyusun HPS membutuhkan keahlian tersendiri. Selain harus memahami karakteristik spesifikasi barang/jasa yang akan diadakan, juga harus mengetahui sumber dari barang/jasa tersebut. Harga barang pabrikan tentu saja berbeda dengan harga distributor apalagi harga pasar.
      Yang paling sering terjadi, entah karena kesengajaan atau karena ketidaktahuan, PPK menyerahkan perhitungan HPS kepada penyedia barang/jasa atau malah kepada broker bin makelar yang melipatgandakan harga tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok. PPK langsung mengambil harga tersebut tanpa melakukan check and recheck lagi. Akibatnya, pada saat pengadaan selesai dan dilakukan pemeriksanaan oleh aparat hukum, ditemukan mark-up harga dan mengakibatkan kerugian negara. Lagi-lagi karena ketidaktahuan dan keinginan kerja cepat dan tidak teliti menjerumuskan PPK ke ranah hukum.
Contoh proses sederhananya bisa terlihat dalam aktifitas yang sering dilakukan oleh Para Pembelanja sebelum melakukan transaksi. Idealnya agar ada standar pada saat bertransaksi, Para Pembelanja tersebut terlebih dahulu melakukan ikhtiar-ikhtiar mencari harga pasaran. Fungsi sederhananya adalah Kita punya patokan agar bisa menawar, bisa mengatakan kemahalan, bisa curiga kalau terlalu murah, dan bisa mengukur uang lebih akurat sebelum belanja.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap beberapa permasalahan administrasi dan hukum pengadaan yang berurusan dengan soal HPS, diramu menjadi pendekatan catatan penting bagi pihak yang dapat tugas nge-draft atau menetapkan HPS, dengan kalimat-kalimat obrolan melalui kelompok ulasan sebagai berikut : 
-          Pemenuhan Harga Pasar
-          Sumber Informasi dan Kalkulasi Yang Dapat Dipertanggungjawabkan
-           
Beberapa catatan khusus yang perlu disampaikan dalam bahasan substasi ini adalah :
1.      Kejelasan Sumber Informasi
2.      Penggunaan Standar Biaya
3.      Penggunaan Produk Konsultan
4.      Pengurangan Diskon
5.      Jumlah Informasi HPS
6.      Di Antara Beberapa Pilihan Informasi HPS
7.      Penambahan Keuntungan

Seperti contoh ketika menyusun HPS untuk pengadaan barang yang harganya jualnya sudah didapat dari toko sekitar kita, maka tidak perlu ditambahkan keuntungan. Hal ini dengan asumsi harga tersebut sudah merupakan harga jual dan harga pasar. Tapi ketika ada pekerjaan konstruksi yang sifatnya merupakan pekerjaan produksi yang mengkombinasikan segenap material, tenaga kerja dan alat, maka dapat ditambahkan keuntungan dan overhead.
-          Dokumentasi Riwayat HPS
-          Ketepatan Waktu

-          Panduan Penyusunan HPS agar Tidak Terkena Kasus Mark-up dan Tidak Gagal Lelang


Dalam proses pengadaan barang dan jasa,salah satu tahapan yang paling krusial bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Penyusunan HPS akan menentukan proses penawaran oleh penyedia barang dan jasa. Apabila HPS ditetapkan lebih mahal dari harga wajar maka akan menimbulkan potensi adanya kerugian negara atau biasa yang dianggap dengan pelembungan harga (mark-up) dan dianggap telah terjadi persekongkolan antara pejabat pengadaan dengan penyedia barang. Akan tetapi, apabila ditetapkan lebih rendah dari harga wajar berpotensi untuk terjadinya tender gagal karena tidak ada penyedia barang yang berminat untuk mengikuti lelang pengadaan. Oleh karenanya, Pengadaan.web.id bakal memberikan panduan dalam penyusunan HPS bagi PPK agar tidak terkena kasus mark-up dan lelang banyak penyedia yang berminat untuk mengikuti pelelangan.
Harga Perkiraan Sendiri (HPS) adalah perhitungan biaya atas pekerjaan barang/jasa sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa, dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggung-jawabkan. Setiap pengadaan harus dibuat HPS kecuali pengadaan yang menggunakan bukti perikatan berbentuk bukti pembayaran, jadi HPS digunakan untuk pengadaan dengan tanda bukti perjanjian berupa dokumen kontrak arau SPK, kuitansi, dan surat perjanjian.
Manfaat dan Sumber Data Penyusunan HPS
Manfaat penyusunan HPS adalah :
a. alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya;
b. dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk pengadaan;
c. dasar untuk negosiasi harga dalam Pengadaan Langsung dan Penunjukan Langsung;
d. dasar untuk menetapkan besaran nilai Jaminan Penawaran (1-3% dari HPS)


PERMASALAHAN ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN


Nama  : Jasman
Npm    : 17 630 002


PERMASALAHAN ASPEK HUKUM PEMBANGUNAN

PERMASALAHAN HUKUM DALAM JASA KONSTRUKSI
Hukum dalam jasa konstruksi biasanya tidak luput dari permasalahan-permasalahannya. Berikut permasalahan hukum dalam jasa konstruksi:
1.      Aspek Hukum Perdata
Pada umumnya adalah terjadinya permasalahan “Wanprestasi” dan “Perbuatan Melawan Hukum”. “Wanprestasi” artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan (kontrak), baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu:
Karena kesalahan salah satu pihak baik karena kesengajaan maupun karena kelalain
Karena keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar kemampuan para pihak, jadi tidak bersalah.
“Perbuatan Melawan Hukum” adalah perbuatan yang sifatnya langsung melawan hukum, serta perbuatan yang juga secara langsung melanggar peraturan lain daripada hukum. Pengertian “Perbuatan Melawan Hukum”, yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya ditafsirkan secara sempit. “Perbuatan Melawan Hukum” itu adalah tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena Undang-Undang (onwetmatig).
KUHPerdata dipastikan memang tidak mendefinisikan dan merumuskan “Perbuatan Melawan Hukum”. Perumusannya, diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya.
2.      Aspek Hukum Pidana
Bila terjadi cidera janji terhadap kontrak, yakni tidak dipenuhinya isi kontrak, maka mekanisme penyelesaiannya dapat ditempuh sebagaimana yang diatur dalam isi kontrak karena kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang memembuatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada UUJK pada bab X yang mengatur tentang sanksi dimana pada pasal 43 ayat (1), (2), dan (3).
Yang secara prinsip isinya sebagaimana berikut, barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (saat berlangsungnya pekerjaan) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan diserahterimakan), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima persen) untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak untuk perencanaan dan pengawasan, dari pasal ini dapat dilihat penerapan Sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena ada pilihan lain yaitu denda.
Dalam hal lain memungkinkan terjadinya bila tidak dipenuhinya suatu pekerjaan sesuai dengan isi kontrak terutama merubah volume dan matrial memungkinkan terjadinya unsur Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan, yaitu yang diatur dalam:
Pasal 378 KUHP (penipuan)
“ Barang siapa dengan maksud untuk mengantungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hokum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.
a.       Pasal 372 KUHP (penggelapan)
“ Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yag seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“
Persoalannya selama ini cidera janji selalu dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dalam hal kontrak kerja konstruksi untuk proyek yang dibiayai uang negara baik itu APBD atau APBN dimana cidera janji selalu dihubungkan dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga UU No 20 Tahun 2001, Pasal 2 ayat (1) yang menjelaskan unsur-unsurnya adalah:
·         Perbuatan melawan hukum.
·         Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
·         Merugikan keuangan Negara atau perekonomian.
·         Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Dalam kasus pidana korupsi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana pasal tersebut harus dapat dibuktikan secara hukum formil apakah tindakan seseorang dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sehingga dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara.
Kemudian institusi yang berhak untuk menentukan kerugian Negara dapat dilihat di UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK yang menyebutkan: BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Jika BPK menemukan kerugian Negara tetapi tidak ditemukan unsur pidana sebagaimana UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001, maka aparat penyidik dapat memberlakukan pasal 32  ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yaitu: Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Pasal ini memberikan kesempatan terhadap gugatan perdata untuk perbuatan hukum yang tidak memenuhi unsur tindakpidana korupsi, namun perbuatan tersebut dapat dan / atau berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan apabila terjadi kerugian negara maka upaya penuntutan tindak pidana korupsi bukan merupakan satu-satunya cara, akan tetapi ada cara penyelesaian yang lain yaitu cara penyelesaian masalah melalui gugatan perdata.
3.      Aspek Sanksi Administratif
Sanksi administratif yang dapat dikenakan atas pelanggaran Undang-Undang Jasa Konstruksi yaitu:
1.      Peringatan tertulis.
2.      Penghentian sementara pekerjaan konstruksi.
3.      Pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi.
4.      Larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi dikenakan bagi pengguna jasa.
5.      Pembekuan Izin Usaha dan atau Profesi.
6.      Pencabutan Izin Usaha dan atau Profesi.


PERPANJANGAN WAKTU KONTRAK PEMBANGUNAN
Sebagaimana diketahui bahwa Instansi Pemerintah, baik yang mengelola dana APBN, APBD, ataupun BUMN/BUMD erat kaitannya dengan pengadaan barang/jasa. Bisa dikatakan, keseharian dari instansi tersebut tidak terlepas dengan pengadaan barang/jasa. Pada artikel ini, kami akan mencoba menguraikan terkait dengan salah satu tema yang sering terjadi kekeliruan pemahaman di lapangan sehingga tidak jarang kemudian menimbulkan permasalahan, yaitu terkait dengan perpanjangan waktu kontrak dan pemberian kesempatan untuk penyelesaian pekerjaan.


ADDENDUM PERPANJANGAN WAKTU KONTRAK

Addendum perpanjangan waktu kontrak adalah perubahan kontrak yang berupa perpanjangan waktu pelaksanaan kontrak karena adanya perubahan kondisi lapangan, force majeure, dan/atau peristiwa kompensasi yang menuntut perpanjangan waktu pelaksanaan pekerjaan.
Ada beberapa kriteria keadaan dapat dikategorikan sebagai Foce Majeure, diantaranya:
·         Ada pernyataan force majeure dari instansi yang berwenang (bencana alam, bencana sosial, kerusuhan, kejadian luar bsa, dan gangguan industri).
·         Selain kategori force majeure di atas, tidak diperlukan pernyataan dari instansi yang berwenang, tetapi diperlukan bukti/data terkait force majeure, misalnya data curah hujan dari BMKG, pemotongan anggaran oleh Kementerian Keuangan, atau terjadi kondisi yang tidak dapat dikendalikan oleh para pihak.
·         Kejadian force majeure menuntuk adanya perpanjangan waktu pelaksanaan pekerjaan.
Sedangkan untuk peristiwa kompensasi adalah terkait dengan hal-hal sebagai berikut:
·         PPK mengubah jadwal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan.
·         Keterlambatan pembayaran kepada penyedia.
·         PPK tidak memberikan gambar-gambar, spesifikasi dan/atau instruksi sesuai jadwal yang dibutuhkan.
·         PPK menginstruksikan kepada pihak penyedia untuk melakukan pengujian tambahan yang setelah dilakukan pengujian ternyata tidak ditemukan kerusakan/kegagalan/penyimpangan.
·         PPK memerintahkan penundaan pelaksanaan pekerjaan.
·         Ketentuan lain dalam SSKK.

PEMBERIAN KESEMPATAN PENYELESAIAN PEKERJAAN
Pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan adalah pemberian kesempatan dari PPK kepada penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan akibat terjadinya keterlambatan penyelesaian pekerjaan karena kesalahan penyedia barang/jasa.
Syarat-syarat pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan, diantaranya:
·         Tidak boleh direncakan sebelum penandatanganan kontrak.
·         Analisis PPK menyimpulkan bahwa lebih efisien dan bermanfaat apabila penyedia diberi kesempatan menyelesaikan pekerjaan.
Penyedia dinilai dan membuat pernyataan sanggup menyelesaikan pekerjaan apabila diberi kesempatan.
·         Memperpanjang jaminanan pelaksanaan (jika ada).
·         Penyedia membuat surat pernyataan bahwa sanggup menyelesaikan sisa pekerjaan maksimal 90 hari kalender sejak berakhirnya sa pekerjaan, bersedia dikenakan denda keterlambatan, dan tidak menuntut denda/bunga apabila terdapat keterlambatan pembayaran atas penyelesaian sisa pekerjaan pada tahun anggaran berikutnya.
·         PA/KPA menyatakan bersedia mengalokasikan anggaran pada tahun berikutnya untuk membayar sisa pekerjaan yang diselesaikan pada tahun berikutnya.
Catatan:
·         Berdasarkan Pasal 93 Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2015, pemberian kesempatan menyelesaikan pekerjaan maksimal 50 hari kalender.
·         Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.05/2014 tentang Pelaksanaan Anggaran Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan yang Tidak Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/MPK.05/2015, pemberian kesempatan menyelesaikan pekerjaan maksimal 90 hari kalender.
Perpanjangan waktu kontrak dan pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan dilaksankan sebelum berkahirnya kontrak. Dalam perpanjangan waktu kontrak diperlukan adanya addendum atau perubahan kontrak, sedangkan pemberikan kesempatan penyelesaian pekerjaan tidak diperlukan adanya addendum perpanjangan waktu, tetapi apabila pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan melampaui tahun anggaran, diperlukan adanya perubahan pembebanan anggaran.
Dalam perpanjangan waktu kontrak tidak dikenakan sanksi berupa denda, namun untuk pemberikan kesempatan penyelesaian pekerjaan dikenakan denda dengan kondisi sebagai berikut:
·         1/1000 per hari dari bagian kontrak apabila penyelesaian masing-masing pekerjaan yang tercantum pada bagian kontrak tersebut tidak tergantung satu sama lain dan memiliki fungsi yang berbeda, dimana fungsi masing-masing bagian kontrak tersebut tidak terkait satu sama lain dalam pencapaian kinerja pekerjaan.
·         1/1000 per hari dari total nilai kontrak apabila penyelesaian masing-masing pekerjaan yang tercantum pada bagian kontrak tersebut tergantung satu sama lain dan tidak memiliki fungsi yang berbeda, dimana fungsi masing-masing bagian kontrak tersebut terkait satu sama lain dalam pencapaian kinerja pekerjaan.
Daftar Referensi:
·         Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015.
·         Peraturan Kepala LKPP Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Perpres 70 Tahun 2012.
·         Pereaturan Kepala LKPP Nomor 15 Tahun 2012 tentang Standar Dokumen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.05/2014 tentang Pelaksanaan Anggaran Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan yang Tidak Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/MPK.05/2015


ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN


Nama  : Jasman
Npm    : 17 630 002

ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN

Pada pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum:
1.      Keperdataan: menyangkut tentang sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan, sertifikasi dan harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
2.      Administrasi Negara: menyangkut tantanan administrasi yang harus dilakukan dalam memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang konstruksi.
3.      Ketenagakerjaan: menyangkut tentang aturan ketenagakerjaaan terhadap para pekerja pelaksana jasa konstruksi.
4.      Pidana: menyangkut tentang tidak adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah pidana.

Mengenai hukum kontrak konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut asas kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan; segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, mengatur tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.      Suatu hal tertentu.
4.      Suatu sebab yang diperkenankan.
5.      Kontrak dalam jasa konstruksi harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif tersebut.




KONTRAK KERJA KONSTRUKSI
Pengaturan hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi dibuat sekurang-kurangnya harus mencakup uraian adanya:
1.      Para pihak
2.      Isi atau rumusan pekerjaan
3.      Jangka pertanggungan dan/atau pemeliharaan
4.      Tenaga ahli
5.      Hak dan kewajiban para pihak
6.      Tata cara pembayaran
7.      Cidera janji
8.      Penyelesaian tentang perselisihan
9.      Pemutusan kontrak kerja konstruksi
10.  Keadaan memaksa (force majeure)
11.  Tidak memenuhi kualitas dan kegagalan bangunan
12.  Perlindungan tenaga kerja
13.  Perlindungan aspek lingkungan.
Khusus menyangkut dengan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual.
Formulasi rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi:
1.      Volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan
2.      Persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi
3.      Persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa
4.      Pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat
5.      Laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Sedangkan, nilai pekerjaan yakni mencakup jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan.



PENGENALAN PASAL-PASAL BERHUBUNGAN DENGAN ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM JASA KONSTRUKSI
Peraturan perundang-undangan dalam jasa konstruksi dapat dijabarkan seperti berikut ini:
1.      Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
2.      PP No.28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.
3.      PP No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
4.      PP No.30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi.
5.      Kepres RI No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berikut perubahannya.
6.      Kepmen KIMPRASWIL No.339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi oleh Instansi Pemerintah.
7.      Surat Edaran Menteri PU No.08/SE/M/2006 perihal Pengadaan Jasa Konstruksi untuk Instansi Pemerintah Tahun Anggaran 2006.
8.      Peraturan Menteri PU No. 50/PRT/1991 tentang Perizinan Perwakilan Perusahaan Jasa Konstruksi Asing.