Jumat, 26 April 2019

PERMASALAHAN ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN


Nama  : Jasman
Npm    : 17 630 002


PERMASALAHAN ASPEK HUKUM PEMBANGUNAN

PERMASALAHAN HUKUM DALAM JASA KONSTRUKSI
Hukum dalam jasa konstruksi biasanya tidak luput dari permasalahan-permasalahannya. Berikut permasalahan hukum dalam jasa konstruksi:
1.      Aspek Hukum Perdata
Pada umumnya adalah terjadinya permasalahan “Wanprestasi” dan “Perbuatan Melawan Hukum”. “Wanprestasi” artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan (kontrak), baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu:
Karena kesalahan salah satu pihak baik karena kesengajaan maupun karena kelalain
Karena keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar kemampuan para pihak, jadi tidak bersalah.
“Perbuatan Melawan Hukum” adalah perbuatan yang sifatnya langsung melawan hukum, serta perbuatan yang juga secara langsung melanggar peraturan lain daripada hukum. Pengertian “Perbuatan Melawan Hukum”, yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya ditafsirkan secara sempit. “Perbuatan Melawan Hukum” itu adalah tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena Undang-Undang (onwetmatig).
KUHPerdata dipastikan memang tidak mendefinisikan dan merumuskan “Perbuatan Melawan Hukum”. Perumusannya, diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya.
2.      Aspek Hukum Pidana
Bila terjadi cidera janji terhadap kontrak, yakni tidak dipenuhinya isi kontrak, maka mekanisme penyelesaiannya dapat ditempuh sebagaimana yang diatur dalam isi kontrak karena kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang memembuatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada UUJK pada bab X yang mengatur tentang sanksi dimana pada pasal 43 ayat (1), (2), dan (3).
Yang secara prinsip isinya sebagaimana berikut, barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (saat berlangsungnya pekerjaan) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan diserahterimakan), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima persen) untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak untuk perencanaan dan pengawasan, dari pasal ini dapat dilihat penerapan Sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena ada pilihan lain yaitu denda.
Dalam hal lain memungkinkan terjadinya bila tidak dipenuhinya suatu pekerjaan sesuai dengan isi kontrak terutama merubah volume dan matrial memungkinkan terjadinya unsur Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan, yaitu yang diatur dalam:
Pasal 378 KUHP (penipuan)
“ Barang siapa dengan maksud untuk mengantungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hokum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.
a.       Pasal 372 KUHP (penggelapan)
“ Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yag seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“
Persoalannya selama ini cidera janji selalu dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dalam hal kontrak kerja konstruksi untuk proyek yang dibiayai uang negara baik itu APBD atau APBN dimana cidera janji selalu dihubungkan dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga UU No 20 Tahun 2001, Pasal 2 ayat (1) yang menjelaskan unsur-unsurnya adalah:
·         Perbuatan melawan hukum.
·         Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
·         Merugikan keuangan Negara atau perekonomian.
·         Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Dalam kasus pidana korupsi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana pasal tersebut harus dapat dibuktikan secara hukum formil apakah tindakan seseorang dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sehingga dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara.
Kemudian institusi yang berhak untuk menentukan kerugian Negara dapat dilihat di UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK yang menyebutkan: BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Jika BPK menemukan kerugian Negara tetapi tidak ditemukan unsur pidana sebagaimana UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001, maka aparat penyidik dapat memberlakukan pasal 32  ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yaitu: Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Pasal ini memberikan kesempatan terhadap gugatan perdata untuk perbuatan hukum yang tidak memenuhi unsur tindakpidana korupsi, namun perbuatan tersebut dapat dan / atau berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan apabila terjadi kerugian negara maka upaya penuntutan tindak pidana korupsi bukan merupakan satu-satunya cara, akan tetapi ada cara penyelesaian yang lain yaitu cara penyelesaian masalah melalui gugatan perdata.
3.      Aspek Sanksi Administratif
Sanksi administratif yang dapat dikenakan atas pelanggaran Undang-Undang Jasa Konstruksi yaitu:
1.      Peringatan tertulis.
2.      Penghentian sementara pekerjaan konstruksi.
3.      Pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi.
4.      Larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi dikenakan bagi pengguna jasa.
5.      Pembekuan Izin Usaha dan atau Profesi.
6.      Pencabutan Izin Usaha dan atau Profesi.


PERPANJANGAN WAKTU KONTRAK PEMBANGUNAN
Sebagaimana diketahui bahwa Instansi Pemerintah, baik yang mengelola dana APBN, APBD, ataupun BUMN/BUMD erat kaitannya dengan pengadaan barang/jasa. Bisa dikatakan, keseharian dari instansi tersebut tidak terlepas dengan pengadaan barang/jasa. Pada artikel ini, kami akan mencoba menguraikan terkait dengan salah satu tema yang sering terjadi kekeliruan pemahaman di lapangan sehingga tidak jarang kemudian menimbulkan permasalahan, yaitu terkait dengan perpanjangan waktu kontrak dan pemberian kesempatan untuk penyelesaian pekerjaan.


ADDENDUM PERPANJANGAN WAKTU KONTRAK

Addendum perpanjangan waktu kontrak adalah perubahan kontrak yang berupa perpanjangan waktu pelaksanaan kontrak karena adanya perubahan kondisi lapangan, force majeure, dan/atau peristiwa kompensasi yang menuntut perpanjangan waktu pelaksanaan pekerjaan.
Ada beberapa kriteria keadaan dapat dikategorikan sebagai Foce Majeure, diantaranya:
·         Ada pernyataan force majeure dari instansi yang berwenang (bencana alam, bencana sosial, kerusuhan, kejadian luar bsa, dan gangguan industri).
·         Selain kategori force majeure di atas, tidak diperlukan pernyataan dari instansi yang berwenang, tetapi diperlukan bukti/data terkait force majeure, misalnya data curah hujan dari BMKG, pemotongan anggaran oleh Kementerian Keuangan, atau terjadi kondisi yang tidak dapat dikendalikan oleh para pihak.
·         Kejadian force majeure menuntuk adanya perpanjangan waktu pelaksanaan pekerjaan.
Sedangkan untuk peristiwa kompensasi adalah terkait dengan hal-hal sebagai berikut:
·         PPK mengubah jadwal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan.
·         Keterlambatan pembayaran kepada penyedia.
·         PPK tidak memberikan gambar-gambar, spesifikasi dan/atau instruksi sesuai jadwal yang dibutuhkan.
·         PPK menginstruksikan kepada pihak penyedia untuk melakukan pengujian tambahan yang setelah dilakukan pengujian ternyata tidak ditemukan kerusakan/kegagalan/penyimpangan.
·         PPK memerintahkan penundaan pelaksanaan pekerjaan.
·         Ketentuan lain dalam SSKK.

PEMBERIAN KESEMPATAN PENYELESAIAN PEKERJAAN
Pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan adalah pemberian kesempatan dari PPK kepada penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan akibat terjadinya keterlambatan penyelesaian pekerjaan karena kesalahan penyedia barang/jasa.
Syarat-syarat pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan, diantaranya:
·         Tidak boleh direncakan sebelum penandatanganan kontrak.
·         Analisis PPK menyimpulkan bahwa lebih efisien dan bermanfaat apabila penyedia diberi kesempatan menyelesaikan pekerjaan.
Penyedia dinilai dan membuat pernyataan sanggup menyelesaikan pekerjaan apabila diberi kesempatan.
·         Memperpanjang jaminanan pelaksanaan (jika ada).
·         Penyedia membuat surat pernyataan bahwa sanggup menyelesaikan sisa pekerjaan maksimal 90 hari kalender sejak berakhirnya sa pekerjaan, bersedia dikenakan denda keterlambatan, dan tidak menuntut denda/bunga apabila terdapat keterlambatan pembayaran atas penyelesaian sisa pekerjaan pada tahun anggaran berikutnya.
·         PA/KPA menyatakan bersedia mengalokasikan anggaran pada tahun berikutnya untuk membayar sisa pekerjaan yang diselesaikan pada tahun berikutnya.
Catatan:
·         Berdasarkan Pasal 93 Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2015, pemberian kesempatan menyelesaikan pekerjaan maksimal 50 hari kalender.
·         Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.05/2014 tentang Pelaksanaan Anggaran Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan yang Tidak Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/MPK.05/2015, pemberian kesempatan menyelesaikan pekerjaan maksimal 90 hari kalender.
Perpanjangan waktu kontrak dan pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan dilaksankan sebelum berkahirnya kontrak. Dalam perpanjangan waktu kontrak diperlukan adanya addendum atau perubahan kontrak, sedangkan pemberikan kesempatan penyelesaian pekerjaan tidak diperlukan adanya addendum perpanjangan waktu, tetapi apabila pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan melampaui tahun anggaran, diperlukan adanya perubahan pembebanan anggaran.
Dalam perpanjangan waktu kontrak tidak dikenakan sanksi berupa denda, namun untuk pemberikan kesempatan penyelesaian pekerjaan dikenakan denda dengan kondisi sebagai berikut:
·         1/1000 per hari dari bagian kontrak apabila penyelesaian masing-masing pekerjaan yang tercantum pada bagian kontrak tersebut tidak tergantung satu sama lain dan memiliki fungsi yang berbeda, dimana fungsi masing-masing bagian kontrak tersebut tidak terkait satu sama lain dalam pencapaian kinerja pekerjaan.
·         1/1000 per hari dari total nilai kontrak apabila penyelesaian masing-masing pekerjaan yang tercantum pada bagian kontrak tersebut tergantung satu sama lain dan tidak memiliki fungsi yang berbeda, dimana fungsi masing-masing bagian kontrak tersebut terkait satu sama lain dalam pencapaian kinerja pekerjaan.
Daftar Referensi:
·         Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015.
·         Peraturan Kepala LKPP Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Perpres 70 Tahun 2012.
·         Pereaturan Kepala LKPP Nomor 15 Tahun 2012 tentang Standar Dokumen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.05/2014 tentang Pelaksanaan Anggaran Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan yang Tidak Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/MPK.05/2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar