Nama : Jasman
Npm : 17 630
002
PERMASALAHAN ASPEK HUKUM
PEMBANGUNAN
PERMASALAHAN HUKUM
DALAM JASA KONSTRUKSI
Hukum dalam jasa
konstruksi biasanya tidak luput dari permasalahan-permasalahannya. Berikut
permasalahan hukum dalam jasa konstruksi:
1.
Aspek Hukum
Perdata
Pada umumnya adalah
terjadinya permasalahan “Wanprestasi” dan “Perbuatan Melawan Hukum”.
“Wanprestasi” artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam
perikatan (kontrak), baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun
perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada
2 (dua) kemungkinan, yaitu:
Karena kesalahan salah
satu pihak baik karena kesengajaan maupun karena kelalain
Karena keadaan memaksa
(force majeur), jadi diluar kemampuan para pihak, jadi tidak bersalah.
“Perbuatan Melawan
Hukum” adalah perbuatan yang sifatnya langsung melawan hukum, serta perbuatan
yang juga secara langsung melanggar peraturan lain daripada hukum. Pengertian
“Perbuatan Melawan Hukum”, yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW
Belanda) hanya ditafsirkan secara sempit. “Perbuatan Melawan Hukum” itu adalah
tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena
Undang-Undang (onwetmatig).
KUHPerdata dipastikan
memang tidak mendefinisikan dan merumuskan “Perbuatan Melawan Hukum”.
Perumusannya, diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Pasal 1365
KUHPerdata hanya mengatur barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum harus
mengganti kerugian yang ditimbulkannya.
2.
Aspek Hukum
Pidana
Bila terjadi cidera
janji terhadap kontrak, yakni tidak dipenuhinya isi kontrak, maka mekanisme
penyelesaiannya dapat ditempuh sebagaimana yang diatur dalam isi kontrak karena
kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang memembuatnya. Hal
ini juga dapat dilihat pada UUJK pada bab X yang mengatur tentang sanksi dimana
pada pasal 43 ayat (1), (2), dan (3).
Yang secara prinsip
isinya sebagaimana berikut, barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun
mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan
mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (saat berlangsungnya pekerjaan)
atau kegagalan bangunan (setelah bangunan diserahterimakan), maka akan dikenai
sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling
banyak 5% (lima persen) untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh
persen) dari nilai kontrak untuk perencanaan dan pengawasan, dari pasal ini
dapat dilihat penerapan Sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan
jalan terakhir bilamana terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan
bangunan karena ada pilihan lain yaitu denda.
Dalam hal lain
memungkinkan terjadinya bila tidak dipenuhinya suatu pekerjaan sesuai dengan
isi kontrak terutama merubah volume dan matrial memungkinkan terjadinya unsur
Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan, yaitu yang diatur dalam:
Pasal 378 KUHP
(penipuan)
“ Barang siapa dengan
maksud untuk mengantungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hokum,
dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun
dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu
benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang,
diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.
a.
Pasal 372 KUHP
(penggelapan)
“ Barang siapa dengan
sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yag seluruhnya atau sebagian
milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam
karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda
paling banyak Rp.900,-“
Persoalannya selama ini
cidera janji selalu dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dalam hal kontrak
kerja konstruksi untuk proyek yang dibiayai uang negara baik itu APBD atau APBN
dimana cidera janji selalu dihubungkan dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga UU No 20 Tahun 2001, Pasal 2 ayat (1)
yang menjelaskan unsur-unsurnya adalah:
·
Perbuatan
melawan hukum.
·
Melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
·
Merugikan
keuangan Negara atau perekonomian.
·
Menyalahgunakan
kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan
kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Dalam kasus pidana
korupsi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana pasal tersebut harus dapat
dibuktikan secara hukum formil apakah tindakan seseorang dapat dikategorikan
perbuatan melawan hukum sehingga dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain
yang dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara.
Kemudian institusi yang
berhak untuk menentukan kerugian Negara dapat dilihat di UU No. 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK yang
menyebutkan: BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang
diakibatkan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan
bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga lain yang menyelenggarakan
pengelolaan keuangan negara.
Jika BPK menemukan
kerugian Negara tetapi tidak ditemukan unsur pidana sebagaimana UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001, maka
aparat penyidik dapat memberlakukan pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun
1999 yaitu: Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih
unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata
telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan
gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan
gugatan.
Pasal ini memberikan
kesempatan terhadap gugatan perdata untuk perbuatan hukum yang tidak memenuhi
unsur tindakpidana korupsi, namun perbuatan tersebut dapat dan / atau
berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Sehingga dapat ditarik
kesimpulan apabila terjadi kerugian negara maka upaya penuntutan tindak pidana
korupsi bukan merupakan satu-satunya cara, akan tetapi ada cara penyelesaian
yang lain yaitu cara penyelesaian masalah melalui gugatan perdata.
3.
Aspek Sanksi
Administratif
Sanksi administratif
yang dapat dikenakan atas pelanggaran Undang-Undang Jasa Konstruksi yaitu:
1.
Peringatan
tertulis.
2.
Penghentian
sementara pekerjaan konstruksi.
3.
Pembatasan
kegiatan usaha dan/atau profesi.
4.
Larangan
sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi dikenakan bagi pengguna jasa.
5.
Pembekuan Izin
Usaha dan atau Profesi.
6.
Pencabutan Izin
Usaha dan atau Profesi.
PERPANJANGAN WAKTU KONTRAK
PEMBANGUNAN
Sebagaimana diketahui bahwa
Instansi Pemerintah, baik yang mengelola dana APBN, APBD, ataupun BUMN/BUMD
erat kaitannya dengan pengadaan barang/jasa. Bisa dikatakan, keseharian dari
instansi tersebut tidak terlepas dengan pengadaan barang/jasa. Pada artikel
ini, kami akan mencoba menguraikan terkait dengan salah satu tema yang sering
terjadi kekeliruan pemahaman di lapangan sehingga tidak jarang kemudian
menimbulkan permasalahan, yaitu terkait dengan perpanjangan waktu kontrak dan
pemberian kesempatan untuk penyelesaian pekerjaan.
ADDENDUM
PERPANJANGAN WAKTU KONTRAK
Addendum perpanjangan waktu
kontrak adalah perubahan kontrak yang berupa perpanjangan waktu pelaksanaan
kontrak karena adanya perubahan kondisi lapangan, force majeure,
dan/atau peristiwa kompensasi yang menuntut perpanjangan waktu pelaksanaan
pekerjaan.
Ada beberapa kriteria keadaan
dapat dikategorikan sebagai Foce Majeure, diantaranya:
·
Ada
pernyataan force majeure dari instansi yang berwenang (bencana alam,
bencana sosial, kerusuhan, kejadian luar bsa, dan gangguan industri).
·
Selain
kategori force majeure di atas, tidak diperlukan pernyataan dari
instansi yang berwenang, tetapi diperlukan bukti/data terkait force majeure,
misalnya data curah hujan dari BMKG, pemotongan anggaran oleh Kementerian
Keuangan, atau terjadi kondisi yang tidak dapat dikendalikan oleh para pihak.
·
Kejadian force
majeure menuntuk adanya perpanjangan waktu pelaksanaan pekerjaan.
Sedangkan untuk peristiwa
kompensasi adalah terkait dengan hal-hal sebagai berikut:
·
PPK
mengubah jadwal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan.
·
Keterlambatan
pembayaran kepada penyedia.
·
PPK
tidak memberikan gambar-gambar, spesifikasi dan/atau instruksi sesuai jadwal
yang dibutuhkan.
·
PPK
menginstruksikan kepada pihak penyedia untuk melakukan pengujian tambahan yang
setelah dilakukan pengujian ternyata tidak ditemukan
kerusakan/kegagalan/penyimpangan.
·
PPK
memerintahkan penundaan pelaksanaan pekerjaan.
·
Ketentuan
lain dalam SSKK.
PEMBERIAN
KESEMPATAN PENYELESAIAN PEKERJAAN
Pemberian kesempatan penyelesaian
pekerjaan adalah pemberian kesempatan dari PPK kepada penyedia untuk
menyelesaikan pekerjaan akibat terjadinya keterlambatan penyelesaian pekerjaan
karena kesalahan penyedia barang/jasa.
Syarat-syarat pemberian
kesempatan penyelesaian pekerjaan, diantaranya:
·
Tidak
boleh direncakan sebelum penandatanganan kontrak.
·
Analisis
PPK menyimpulkan bahwa lebih efisien dan bermanfaat apabila penyedia diberi
kesempatan menyelesaikan pekerjaan.
Penyedia
dinilai dan membuat pernyataan sanggup menyelesaikan pekerjaan apabila diberi
kesempatan.
·
Memperpanjang
jaminanan pelaksanaan (jika ada).
·
Penyedia
membuat surat pernyataan bahwa sanggup menyelesaikan sisa pekerjaan maksimal 90
hari kalender sejak berakhirnya sa pekerjaan, bersedia dikenakan denda
keterlambatan, dan tidak menuntut denda/bunga apabila terdapat keterlambatan
pembayaran atas penyelesaian sisa pekerjaan pada tahun anggaran berikutnya.
·
PA/KPA
menyatakan bersedia mengalokasikan anggaran pada tahun berikutnya untuk
membayar sisa pekerjaan yang diselesaikan pada tahun berikutnya.
Catatan:
·
Berdasarkan
Pasal 93 Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2015, pemberian
kesempatan menyelesaikan pekerjaan maksimal 50 hari kalender.
·
Berdasarkan
Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.05/2014 tentang
Pelaksanaan Anggaran Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan yang Tidak
Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/MPK.05/2015, pemberian kesempatan
menyelesaikan pekerjaan maksimal 90 hari kalender.
Perpanjangan waktu kontrak dan
pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan dilaksankan sebelum berkahirnya
kontrak. Dalam perpanjangan waktu kontrak diperlukan adanya addendum atau
perubahan kontrak, sedangkan pemberikan kesempatan penyelesaian pekerjaan tidak
diperlukan adanya addendum perpanjangan waktu, tetapi apabila
pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan melampaui tahun anggaran,
diperlukan adanya perubahan pembebanan anggaran.
Dalam perpanjangan waktu kontrak
tidak dikenakan sanksi berupa denda, namun untuk pemberikan kesempatan
penyelesaian pekerjaan dikenakan denda dengan kondisi sebagai berikut:
·
1/1000
per hari dari bagian kontrak apabila penyelesaian masing-masing pekerjaan yang
tercantum pada bagian kontrak tersebut tidak tergantung satu sama lain dan
memiliki fungsi yang berbeda, dimana fungsi masing-masing bagian kontrak
tersebut tidak terkait satu sama lain dalam pencapaian kinerja pekerjaan.
·
1/1000
per hari dari total nilai kontrak apabila penyelesaian masing-masing pekerjaan
yang tercantum pada bagian kontrak tersebut tergantung satu sama lain dan tidak
memiliki fungsi yang berbeda, dimana fungsi masing-masing bagian kontrak
tersebut terkait satu sama lain dalam pencapaian kinerja pekerjaan.
Daftar
Referensi:
·
Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015.
·
Peraturan
Kepala LKPP Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Perpres 70 Tahun 2012.
·
Pereaturan
Kepala LKPP Nomor 15 Tahun 2012 tentang Standar Dokumen Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.05/2014 tentang Pelaksanaan Anggaran Dalam
Rangka Penyelesaian Pekerjaan yang Tidak Terselesaikan Sampai Dengan Akhir
Tahun Anggaran sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
243/MPK.05/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar